oleh

WALUYO


PENDAHULUAN

Mata pelajaran PAI (Pendidikan Agama Islam) merupakan salah satu rumpun mata pelajaran moral atau akhlak. Salah satu tujuan diselenggarakannya mata pelajaran ini adalah agar selain anak menguasai ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi sesuai dengan kompetensinya, anak juga diharapkan mampu mengarahkan kompetensinya itu secara baik, benar, dan tepat sehingga kompetensi yang telah dimilikinya itu memiliki nilai manfaat yang baik menurut dirinya, bagi dan menurut orang lain, serta sesuai dengan peraturan Tuhan (UUSPN tahun 2003).

Keterpaduan antara ilmu pengetahuan, sains, teknologi, dan agama menjadi sebuah team work dengan satu kesatuan visi dan misi merupakan cita-cita bangsa Indonesia selama ini yang oleh Prof. DR. Mukti Ali disebut dengan manusia Indonesia seutuhnya (Amin, 1996). Tipe atau karakteristik orang yang telah menjiwai keterpaduan ini ketika akan menentukan sikap dan perilaku tidak lagi berdasarkan pertanyaan “apa yang bisa saya lakukan” tapi “apa yang sebaiknya harus saya lakukan” (Hasan, 2004). Dua motif pertanyaan ini secara essensi jelas memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Motif yang pertama orientasinya lebih menekankan pada hasil akhir semata tanpa melibatkan pertimbangan moral, etika, dan estetika pada cara dan prosesnya. Hal ini akan jelas berbeda dengan motif yang kedua, yang mana selain memikirkan hasil yang terbaik juga mempertimbangkan cara dan prosesnya secara moral, etika, dan estetika.

PAI sebagai mata pelajaran agama dan moral ternyata sampai sekarang masih sangat minim kontribusinya dalam mengawal dan menjiwai para generasi bangsa ini dari tantangan modernisasi. Bukti kegagalannya setidaknya dapat dirasakan oleh masing-masing individu. Bukti yang lebih nyata lagi dapat dilihat dari pemberitaan di berbagai media baik cetak maupun elektronik, dimana tindak kriminalitas dan amoralitas telah menjadi patologi yang menyebar ke berbagai sektor dan lini kehidupan dengan tanpa diskriminasi. Sesuatu yang mungkin lebih tragis lagi adalah semakin banyaknya orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan agama tetapi kehidupannya tidak agamis (Nasution, 2004).

Kenyataan ini jelas tidak sesuai dengan cita-cita luhur bangsa Indonesia. Suatu bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mayoritas penduduknya juga beragama dan hampir 30 persennya adalah beragama Islam, akan tetapi pada kenyataanya bangsa ini belum mampu menunjukkan kehidupan yang berjiwa agama. Permasalahan ini merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dikaji untuk kemudian dicarikan solusi yang terbaik.

Martin dan Briggs (dalam Syarkawi, 2006) mengemukakan bahwa hampir seluruh krisis kegagalan, dan timbulnya perilaku-perilaku yang tidak diinginkan senantiasa dipertanyakan orang dan dihubungkan dengan pelaksanaan pendidikan moral di sekolah. Kerusakan lingkungan dan bencana yang menimpa negeri ini menurut Rosyid (Jawa Pos, 12/1/2008) adalah panen dari investasi pendidikan yang buruk. Pendidikan lebih banyak menghasilkan manusia yang tidak cakap untuk bekerja sama sebagai warga negara, bahkan dunia. Jika dipikir memang tidaklah fair, kalau terjadinya tindak dan perilaku amoral tersebut hanya ditumpukan pada dunia pendidikan semata. Karena ada faktor-faktor lain, sebagai akibat dari tekanan sosial-ekonomi yang sedemikian keras juga ikut mempengaruhi, memberi andil dalam membuat terjadinya regresi dan dekadensi etika dan akhlak (Adib, 2004).

Rosjidan (2004) dalam hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa faktor penyebab adanya perilaku negatif yang dilakukan para remaja ialah karena kurang efektifnya pendidikan moral di sekolah. Berkaitan dengan hal itu secara lebih tegas, Santoso (dalam sarkawi, 1991) mengungkapkan bahwa urusan kebobrokan moral tidak bisa diperbaiki hanya dengan imbauan, pidato, khotbah, sandiwara, seminar, rapat kerja, dan berbagai upaya sejenis lainnya, melainkan harus dengan ketepatgunaan pendidikan moral di sekolah. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimanakah sebenarnya keefektifan pendidikan moral di sekolah?

Pendidikan moral merupakan bagian lingkungan yang berpengaruh, dirancang secara sengaja untuk mengembangkan dan mengubah cara berfikir dan bertindak dalam situasi moral. Melalui program pendidikan formal, pemerintah berusaha membina dan mengembangkan pendidikan moral di sekolah (Syarkawi, 2006). Ryan (dalam Syarkawi, 2006) mengemukakan tiga teori tentang usaha menumbuhkan dan mengembangkan moral, yaitu (1) teori perkembangan kognitif, (2) teori belajar sosial, dan (3) teori psikoanalistik. Pada kesempatan ini penulis hanya akan membahas mengenai teori perkembangan kognitifnya saja.

TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF

Teori perkembangan kognitif ini pertama kali digagas oleh Dewey, dilanjutkan oleh Piaget, dan disempurnakan oleh Kohlberg. Menurut teori ini moral manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan urutan tahap-tahap perkembangan berdasarkan tingkat pertimbangan moral (Ryan dalam Syarkawi, 2006). Piaget (dalam Santrock, 2002) mengungkapkan bahwa ada dua cara anak berfikir tentang moralitas, tetapi asing-masing individu memiliki perbedaan pandangan yang dipengaruhi oleh perbedaan perkembangan kedewasaan. Pertama adalah tahap heteronomous morality, yaitu tahap pertama perkembangan moral yang terjadi kira-kira pada usia 4 hingga 7 tahun. Keadilan dan aturan-aturan dibayangkan sebagai sifat-sifat dunia yang tidak boleh lepas dari kendali manusia. Kedua adalah tahap autonomous morality, yaitu tahap kedua perkembangan moral yang diperlihatkan oleh anak-anak yang lebih tua (kira-kira usia 10 tahun dan lebih). Anak menjadi sadar bahwa aturan-aturan dan hukum diciptakan oleh manusia dan dalam menilai suatu tindakan, seseorang harus mempertimbangkan maksud-maksud pelaku dan juga akibat-akibatnya. Anakanak berusia 7 hingga 10 tahun berada di dalam suatu transisi di antara dua tahap, menunjukkan beberapa ciri dari keduanya.

Ada satu teori lagi yang merupakan pengembangan dari teorinya Piaget yakni teorinya Kohlberg. Kohlberg bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap. Setelah 20 tahun melakukan penelitian kohlberg percaya bahwa terdapat tiga tingkat perkembangan moral yang masing-masing ditandai oleh dua tahap. Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral kohlberg adalah internalisasi, yaitu perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal (Santrock, 2002).

Tahap perkembangan moral menurut Kohlberg adalah sebagai berikut:

1. Tingkat Prakonvensional

Pada tahap ini anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral tetapi penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal

a. Orientasi Hukuman dan Kepatuhan.

Pada tahap ini, penalaran moral didasarkan atas hukuman. Anak taat karena orang dewasa menuntutnya untuk taat.

b. Orientasi Instrumental Relatif. Pada tahap ini, penalaran anak didasarkan atas imbalan dan kepentingan sendiri. Anak taat bila ingin taat dan bila yang terbaik untuk kepentingan terbaik adalah taat. Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan imbalan.

2. Tingkat Konvensional

Pada tingkat ini, internalisasi individual adalah menengah. Seseorang menaati standar-standar (internal) tertentu, tetapi mereka tidak menaati standar-standar (eksternal) yang lain, seperti orang tua atau masyarakat.

a. Orientasi Norma-Norma Interpersonal. Pada tahap ini, seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan moral. Seseorang menghargai orang lain dalam rangka ingin dihargai.

b. Orientasi Moralitas Sistem Sosial. Pada tahap ini, pertimbangan-pertimbangan didasarkan atas pemahaman aturan sosial, hukum, keadilan, dan kewajiban.

3. Tingkat Paskakonvensional

a. Orientasi Kontrak Sosial Legalitas. Pada tahap ini, seseorang memahami bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain. Ringkasnya, seseorang berpegang teguh pada persetujuan demokratis, kontrak sosial, dan konsensus bebas.

b. Orientasi prinsip etika universal (orientation of universal ethical principles). Seseorang telah mengembangkan standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia yang universal. Sesuatu yang secara moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum-hukum atau aturan-aturan dari suatu tertib sosial, akan tetapi lebih dibatasi oleh kesadaran yang ada pada manusia dengan dilandasi oleh prinsip-prinsip etis yang sifatnya self determinated.

Tingkat pertimbangan moral, urutannya sedemikian tetap, dari tingkat yang rendah menuju ke tingkat yang lebih tinggi. Tingkat pertimbangan moral, dianggap sebagai suatu proses moral dalam menetapkan suatu keputusan (Kohlberg dalam Bertens, 2002).

PERAN TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF BAGI PAI

Pada bab pendahuluan telah disinggung bahwa PAI merupakan salah satu mata pelajaran yang bermuatan moral. Ketika berbicara tentang masalah moral tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai afektif. Agar pembelajaran PAI ini dapat berjalan secara baik dan efektif maka perlu adanya strategi pembelajaran yang di dalamnya memuat masalah pendekatan, metode, dan teknik yang sesuai dan tepat. Pendekatan teori perkembangan kognitif penulis anggap dapat menjadi suatu solusi alternatif dalam pembelajaran PAI. Hal ini karena model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampuan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif (Sukmadinata, 2003).

Adapun langkah-langkah pembelajaran PAI secara perkembangan moral kognitif adalah sebagi berikut:

1. Menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung dilema moral.

2. Siswa diminta untuk memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu.

3. Siswa diminta mendiskusikan /atau menganalisis kebaikan dan kejelekannya atau positif negatifnya.

4. Siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik.

5. Siswa menerapkan tindakan dalam segi lain (Sukmadinata, 2003).

Strategi pembelajaran dengan pendekatan teori perkembangan moral kognitif menuntut keahlian guru untuk memenej kelas dengan baik agar situasi kelas kondusif dan diskusi dapat hidup dan berjalan dengan baik (Syarkawi, 2006).

KESIMPULAN

Setiap bayi yang terlahir di dunia ini telah membawa fitrah atau potensi moral atau akhlah yang berkecenderungan untuk menyucikan dan mentauhidkan Allah SWT sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat al-a’raf ayat 172. Selain itu di dalam hadits nabi juga telah dijelaskan bahwa setiap bayi yang lahir itu dalam kondisi suci, adapun yang menjadikannya sebagai orang yahudi, nasrani, dan majusi adalah orang tuanya.

Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap bayi sejatinya telah memiliki potensi positif, adapun tugas lingkungan (rumah, sekolah, masyarakat) adalah membantu mengaktualisasikan potensi itu ke dalam wujud sikap dan perilaku dengan menggunakan tuntunan dan aturan al-Qur’an dan as-Sunnah. Keduanya adalah satu-satunya tuntunan dan aturan yang tidak berseberangan dengan fitrah manusia. Kedua sumber tuntunan ini kemudian dalam dunia pendidikan dikemas ke dalam mata pelajaran PAI (pendidikan agama Islam).

Adapun teori perkembangan kognitif berfungsi untuk membantu mengefektifkan proses aktualisasi itu supaya dapat berjalan secara optimal.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, M. M., Dinamika Islam (Sejarah Transformasi dan Kebangkitan), Yogyakarta: LKPSM, 1996.

Bertens, K., Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

Chaplin, J. P., Kamus Lengkap Psikologi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.

Hasan, T., Dinamika Kehidupan Religius, Jakarta: Listafariska Putra, 2004.

Nasution, K., Pengantar Studi Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA TAZZAFA, 2004.

Rosjidan. 2004. Peran profesional Konselor sebagai Pengembang Bahan Bimbingan. Makalah Seminar dan Lokakarya Life-skill dan kaitannya dengan perkembangan Karir, Universitas Kanjuruan Malang, 8 Maret 2004.

Syarkawi, Pembentuka Kepribadian Anak, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.

Sukmadinata, Landasan Psikologi Proses Pembelajaran, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003.

Santrock, Life Span Development, Jakarta: Erlangga, 2002.

Comments

0 Response to 'PERAN KOGNITIF BAGI PAI (PENDIDIKAN AGAMA ISLAM)'