pemandangan indah Kebahagiaan merupakan impian setiap manusia. Masing-masing individu memiliki perbedaan persepsi dalam mamaknai suatu kebahagiaan. Perbedaan ini selanjutnya akan mengarahkan kepada perbedaan cara dan strategi dalam upayanya menggapai kebahagiaan tersebut. Terjadinya perbedaan persepsi ini karena dilatarbelakangi oleh perbedaan pengetahuan dan pengalaman yang menginternal pada masing-masing individu.

Sebagian orang beranggapan bahwa kebahagiaan itu sama dengan kesenangan. Keduanya memang memiliki persamaan, yaitu sama-sama berada dalam wilayah afeksi atau perasaan. Akan tetapi jika diteliti secara seksama maka akan tampak perbedaan yang mencolok. Orang yang hidup bahagia pasti akan merasa senang, tetapi apakah orang yang hidup dengan bergelimang kesenangan sudah tentu merasakan kebahagiaan? Ternyata belum.

Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ ‘Ulumuddin mengatakan bahwa sumber pokok kesenangan itu ada empat. Pertama, al-ma’rifah (pengetahuan). Orang yang memiliki pengetahuan yang luas pasti akan memiliki peluang untuk memperolah kesenangan yang lebih besar daripada orang yang pengetahuannya terbatas. Contoh sederhana, orang yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang matematika akan merasa senang ketika disuguhi soal matematika, karena pasti akan dapat menjawabnya. Tetapi sebaliknya, dia akan merasa kebingungan ketika disuguhi soal gramatika bahasa Arab.

Kedua, al-shihhah (kesehatan). Seseorang yang memiliki kesehatan yang baik relatif akan memiliki peluang memperoleh kesenangan yang lebih besar daripada orang yang tidak mempunyai kesehatan yang baik. Contoh, orang yang tidak memiliki alergi kulit ketika makan telor tentu akan merasa senang ketika disuguhi makanan yang mengandung telor. Sebaliknya, dia akan merasa sakit dan tersiksa ketika makan makanan yang mengandung telor.

pemandangan gaul

Sumber kesenangan ketiga adalah al-mal (harta). Orang yang memiliki harta melimpah lebih besar peluangnya untuk meraih kesenangan daripada orang yang hartanya sangat terbatas. Contoh, orang kaya ketika melakukan suatu perjalanan dapat memilih sarana transportasi sesuai dengan kehendaknya, baik milik pribadi maupun umum. Hal ini berbeda dengan kondisinya orang miskin yang terbatas pada kemampuan finansialnya.

Keempat, sumber kesenangan adalah al-jah (kedudukan atau status sosial). Seseorang yang memiliki kedudukan atau status sosial yang terhormat dalam masyarakat akan mempunyai peluang yang relatif besar daripada orang yang tidak memiliki kedudukan atau status sosial. Seorang lurah relatif lebih besar peluangnya untuk meraih suatu kesenangan daripada seorang RT.

Menurut Al-Ghazali, keempat sumber itu baru dapat menghadirkan kesenangan saja, belum mampu menghadirkan kebahagiaan. Kesenangan itu akan muncul dan mewujud menjadi kebahagiaan apabila diiringi dengan munculnya ketenangan. Mengenai hal ini, banyak sekali contoh yang dapat kita ambil pelajaran dari kehidupan sehari-hari. Misalnya, kasus yang menimpa para koruptor. Para koruptor ini mungkin dapat meraih segala kesenangan yang diinginkannya dengan menggunakan harta hasil korupsi, tapi dia pasti tidak dapat merasakan ketenangan. Setiap saat merasa bersalah dan takut kasusnya terbongkar sehingga akan diseret ke pengadilan dan dimasukkan ke dalam sel.

Ketenangan dapat diperoleh jika seseorang itu mampu mendesain dan mengarahkan sumber kesenangan itu menjadi sesuatu yang dapat mendekatkan dirinya dengan Tuhannya (taqarrub ila Allah). Hal ini, tentunya sumber kesenangan itu harus dibimbing oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Keduanya merupakan sumber referensi yang sangat valid dalam mengenal dan memahami Allah SWT. Orang yang telah dekat dengan Allah SWT nantinya akan dapat bersikap ridlo dan ikhlas dengan apa yang telah diberikan oleh Allah SWT kepadanya, walaupun sedikit.

Al-Qur’an dan As-Sunnah telah mengajarkan bagaimana cara mendesain dan mengarahkan suatu kesenangan menjadi sesuatu yang dapat mendekatkan orang yang melakukannya dengan Tuhannya, diantaranya adalah pertama, segala pekerjaan diniati semata-mata karena Allah SWT. Kedua, memposisikan pekerjaan itu selalu ada dalam bimbingan dan prosedur Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika suatu pekerjaan telah didesain dan diarahkan dengan kedua cara ini maka jika nanti hasil yang diinginkan belum atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, orang yang melakukannya itu tidak akan mengalami kekecewaan atau kehilangan harapan untuk melakukan suatu pekerjaan yang serupa atau pekerjaan lainnya. Selain itu, orang ini akan dapat berpikir positif dalam menghadapi permasalahan atau akan lebih mengutamakan untuk mengevaluasi diri sendiri daripada mengevaluasi orang lain.

Jadi, kebahagiaan berbeda dengan kesenangan, karena kesenangan baru sebatas faktor penunjang yang memungkinkan hadirnya kebahagiaan. Kesenangan akan mewujud menjadi kebahagiaan jika diliputi rasa ketenangan. Suatu kesenangan akan diliputi dengan ketenangan apabila kesenangan itu telah mampu mendekatkan individu kepada Tuhannya. Supaya suatu kesenangan dapat mendekatkan kepada Tuhannya maka harus dibimbing oleh referensi yang mengenal, mengetahui, dan memahami Tuhannya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Lebih jauh dari itu, inti kebahagiaan adalah bagaimana seseorang mampu bersikap dan berperilaku yang dapat mendekatkan dirinya dengan Tuhannya serta mampu bersikap ridlo dan ikhlas menerima apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya.

[More]