Oleh:

AGUS AFANDI

Agus Afandi adalah dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya

ABSTRAK

Kekuatan kapitalisme global yang mencengkeram ke seluruh relung jagad melalui berbagai korporasi telah meluluhlantakkan kekuatan-kekuatan lokal. Perusahaan-perusahaan multi nasional yang didukung oleh kekuatan korporasi media dan teknologi informasi membuat negara-negara dunia ketiga tidak memiliki daya kekuatan menolak arus permainan global tersebut. Dengan kekuatan ekonomi politik negara-negara kapitalis yang tergabung dalam G 8, negara –negara dunia ketiga, termasuk Indonesia, dipermainkan dengan program-program recovery ekonomi melalui lembaga keuangan Bank Dunia dan IMF. Kesepakatan WTO yang memberi peran pasar sebagai penentu kehidupan perekonomian, justru mengkerdilkan peran negara dalam melindungi kehidupan ekonomi warganya. Lemahnya peran negara dalam melindungi segala kebutuhan masyarakat berdampak pada lemahnya tatanan sosial budaya masyarakat. Hal ini berakibat pada terkikisnya tatanan sosial dan budaya masyarakat yang selama ini telah menjadi identitas diri dan kekuatan sosial.

Pada dasarnya masyarakat Indonesia sejak masa kolonial telah melakukan penolakan arus kekuatan global yang membawa faham kolonialismenya. Penjajahan dengan misi penguasaan politik dan ekonomi, disadari sebagai bentuk penindasan dan peminggiran akan hak-hak sebagai manusia yang bebas. Kekuatan-kekuatan lokal yang digalang oleh para pejuang dengan bangunan sosial budaya yang menjadi identitas diri kehidupan masyarakat mampu menjadi alat untuk menolak penjajah dan globalisasi ketika itu.

Kekuatan global yang sekarang berubah bentuk menjadi wajah menarik, yaitu pola hidup modern yang diwujudkan dengan budaya konsumtif, pergaulan bebas, hedonistik, dan individualis, membawa masyarakat terlena dan tidak terasa bahwa dirinya sedang mengalami penjajahan yang lebih dahsyat. Jangkauan informasi dan teknologi sampai ke wilayah yang paling dalam dan paling individual mempengaruhi pola hidup manusia sampai pada tingkat mengkhawatirkan. Manusia tidak faham bahwa dirinya memasuki wilayah tatanan kehidupan yang sama sekali bukan milik dirinya.

Pengalaman masa kolonial dan pasca kemerdekaan menunjukkan, bahwa kekuatan nasional dan lokal mampu menjadi alat untuk menggalang kekuatan melawan kapitalisme dan liberalisme. Oleh karena itu di masa sekarang ini, hanya dengan kekuatan lokal warga bangsa mampu menghadang kekuatan neo kapitalisme dan neo liberalisme. Kekuatan-kekuatan lokal yang selama ini mulai lemah perlu dibangun kembali, sehingga mampu mengimbangi kekuatan global.

Proses yang dapat dilakukan dalam mengokohkan kekuatan lokal tersebut melalui pendidikan kritis. Pendidikan masyarakat yang selama ini sudah terbangun melalui pesantren, kyai, ajengan, dan tokoh-tokoh lokal ternyata memiliki daya ampuh untuk mengimbangi kekuatan luar. Oleh sebab itu, perlu dibangun terus kekuatan-kekuatan lokal tersebut dengan pendidikan yang membebaskan meskipun tetap membuka diri dengan kemajuan tetapi tidak terpengaruh dengan arus budaya kapitalis yang secara laten memiliki agenda menjajah dan menindas.

FAHAM NEO-LEBERALISME DAN AGENDA YANG DIUSUNG

Neoliberalisme pada dasarnya adalah kelanjutan dari faham liberalisme yang pernah berkembang dan mengalami krisis pada tahun 1930-an. Inti faham Neoliberalisme ini adalah dilepaskannya hak istimewa atas modal dari berbagai tata aturan teritorial maupun nasional. Gejala ini kemudian melahirkan satu monster baru dalam skala global, yaitu kekuatan bisnis internasional.

Pengertian neoliberalisme dapat diringkas dalam dua lapis definisi. Pertama, neoliberalisme adalah faham/agenda pengaturan masyarakat yang didasarkan pada dominasi homo economicus atas dimensi lain dalam diri manusia (sebagai homo culturalis, zoon politikon, homo sosialis, dan sebagainya). Kedua, sebagai kelanjutan pengertian pertama, neoliberalisme bisa juga difahami sebagai dominasi sektor finansial atas sektor riel dalam tata ekonomi-politik. Pengertian pertama lebih menunjuk pada ‘kolonisasi eksternal’ homo oeconomicus atas berbagai dimensi antropologis lain dalam multidimensionalitas manusia. Sedangkan definisi kedua menunjuk ‘kolonisasi internal’ homo financialis atas aspek-aspek lain dalam multidimensionalitas tata homo oeconomicus itu sendiri. (Herry-Priyono, 2004)

Inti neoliberalisme terletak pada dua gagasan utama berikut. Pertama, manusia dilihat hanya sebagai homo oeconomicus. Artinya, cara-cara manusia bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah salah satu dari sekian banyak dimensi hubungan antarmanusia, tetapi sebagai satu-satunya corak yang mendasari semua tindakan dan relasi antarmanusia. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antarpribadi manusia maupun tindakan dan hubungan legal, sosial, dan politis manusia, hanyalah sebagai ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi dalam transaksi ekonomi.

Kedua, gagasan ekonomi-politik neoliberal adalah argumen bahwa pertumbuhan ekonomi akan optimal jika dan hanya jika lalu lintas modal yang dimiliki oleh pribadi (orang-perorang) dilepaskan dari hal-hal yang terkait dengan survival sosial dan ditujukan semata untuk akumulasi laba. Bila dalam liberalisme klasik (Adam Smith) kepemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk mensejahterakan seluruh masyarakat, maka dalam neoliberalisme, kepemilikan privat tersebut sudah demikian absolut dan keramat, tanpa peran sosial apapun juga, kecuali untuk akumulasi laba privat.

Agenda utama neolibrelisme adalah globalisasi ekonomi, sebagai agenda tata dunia baru yang bertumpu pada kekuasaan modal dan pemilik modal. Dalam hal ini ada tiga agenda utama yaitu: (1) tataran tindakan, tata kekuasaan global yang bertumpu pada praktek bisnis raksasa lintas negara; (2) pelaku utamanya adalah perusahaan-perusahaan trans-nasional (Multinational Corporation, MNCs) ; dan (3) proses kultural ideologis yang dibawanya adalah konsumerisme.

Dalam globalisasi, praktek perdagangan bisnis tran-nasional didorong dan didukung oleh regulasi dan kesepakatan internasional yang kerap disebut sebagai ‘aturan baru’ dalam kerangka pasar bebas. Kesepakatan tersebut seperti GATT (General Agreement on Tariffs and Trade), WTO (World Trade Organisation), GATS (General Agreement on Trade in Services), TRIPs (Trade Related Intellectual Property Right), TRIMs (Trade Related Invesment Measures), AoA (Agreement on Agriculture) dan sebagainya. Pada saat yang sama ideologi konsumerisme juga didesakkan oleh kekuasaan luar biasa dari bisnis periklanan dalam bentuk logo, merek, dan label, dibawah sadar menanamkan prinsip ‘kenikmatan-gengsi-kemewahan’ pada banyak individu. Sehingga dengan demikian globalisasi tidak saja terjadi dalam skala makro, dalam rupa berbagai tata kebijakan ekonomi politik global yang dipaksanakan pada kebijakan publik melalui tiga ‘matra sakti’: deregulasi-privatisasi-liberalisasi. Tetapi, globalisasi juga terjadi dalam skala mikro individu manusia, yang disuntikkan ke dalam berbagai pilihan individu yang merujuk pada ragam budaya, identitas, dan gaya hidup global. Meskipun hakekatnya adalah pemaksaan untuk memilih keseragamaan budaya, identitas, dan gaya hidup. Seperti gaya hidup mengkonsumsi makanan cepat saji ala Amerika, McDonal, KFC, Pizza Hut, A&W, gaya musik ala MTV, dan gaya busana ala Barat.

Strategi dasar neoliberalisme adalah penyingkiran segenap rintangan yang menghambat pasar bebas, perlindungan hak milik intelektual, good governance, deregulasi pasar, dan penghapusan subsidi pelayanan publik. Dalam prakteknya neolibral memberikan kebebasan kepada perusahaan swasta dari campur tangan pemerintah. Misalnya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam urusan perburuan, investasi, harga, dan membiarkan mereka memiliki ruang untuk tumbuh dan berkembang mengatur dirinya sendiri. Negara kemudian menyediakan kawasan-kawasan pertumbuhan yang bersifat otonom dan memberikan perlakuan yang khusus atas pajak, bea masuk, dan investasi. Seperti kawasan NAFTA, AFTA, SIJORI (Singapura-Johor-Riau), BIMP-EAGA (Brunai-Indonesia-Malaysia-Philipines East Growt Triangle), Otorita Batam, dan sebagainya. Praktek lainnya adalah penghentian subsidi pelayanan sosial karena selain dianggap bertentangan dengan prinsip neoliberal tentang campur tangan pemerintah, juga bertentangan dengan asas pasar dan persaingan bebas. Oleh karena itu, pemerintah kemudian melakukan swastanisasi semua perusahaan negara, sebab perusahaan negara dibuat untuk memberikan subsidi pada rakyat, dan itu dapat menghambat persaingan bebas. (Faqih, 2000)

Bagi neoliberal ideologi ‘kesejahteraan bersama’ dan ‘pemilikan komunal’ seperti yang dianut oleh kebanyakan masyarakat tradisional, dianggap sebagai rintangan untuk mencapai agenda utama neoliberal. Oleh sebab itu, mereka berusaha keras menghambat kedua faham itu dengan berbagai argumen dan promosinya. Akibatnya mereka memaksa untuk menyerahkan pengelolaan sumberdaya alam pada para pakar, bukan kepada kelompok-kelompok masyarakat adat tradisional setempat yang dianggap tidak mampu mengelola secara efisien dan efektif. Padahal justru masyarakat adatlah yang sudah berpengalaman dan memiliki kerifan lokal (local wisdom), serta mengenal secara turun temurun karakter sumber daya alam yang berkembang di sekitar wilayah ingkungannya.

Jadi suatu negara yang sudah menganut faham neoliberalisme dan mengikuti arus globalisasi ekonomi secara ringkas terlihat bila negara hanya mengembangkan pola-pola sebagai berikut (Jhamtani, 2005, yang mengutip IFS report 2002): (1) Pertumbuhan tinggi (hypergrowth) dan eksploitasi sumber daya alam serta lingkungan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, (2) Swastanisasi (privatisasi) pelayanan publik, (3) Penyeragaman (homogenisasi) budaya dan ekonomi global serta promosi konsumerisme, (4) Integrasi dan konversi ekonomi nasional, dari swasembada menjadi berlandasakan pada pasar, (5) Deregulasi korporat dan perpindahan modal lintas-batas negara tanpa penghalang atau pembatas, (6) Pemusatan korporasi menjadi segelintir perusahaan besar saja, (7) Penghapusan bantuan atau subsidi program pelayanan kesehatan dasar masyarakat, pelayanan sosial lainnya, dan pemeliharaan lingkungan hidup, karena dianggap sebagai biaya, (8) Penggusuran kekuasaan negara demokrasi dan masyarakat lokal oleh birokrasi korporasi global.

Maka dengan demikian korporasi diikat dengan hukum yang longgar atau bahkan tidak diikat dengan hukum samasekali (deregulasi), kecuali hukum pasar. Korporasi diberi akses ke pasar manapun secara bebas (liberalisasi) dan diberi wewenang mengatur hajat hidup orang banyak (privatisasi pelayanan publik). Peran negara yang seharusnya melindungi kepentingan masyarakat dalam menghadapi persaingan dengan korporasi raksasa, justru dikeberi. (Bourdieu, 2003)

Kalau dilihat secara umum, kekuatan besar korporasi pada dasarnya didukung oleh empat hal yaitu penguasaan atas teknologi, informasi, modal, dan peraturan global. Melalui empat tersebut MNCs melakukan penjajahan atas hajat hidup dan pikiran manusia melalui paradigma neoliberlisme. (Jhamtani, 2005)

Untuk menjajah wilayah hidup, langkah awal adalah penjajahan pikiran. Hal ini dilakukan melalui dominasi terhadap informasi melalui monopoli media massa, dalam bentuk iklan serta berita yang dipiuhkan (distorted). Langkah selanjutnya adalah penyeragaman budaya, pola hiudp bahkan, bahkan sistem serta produk pertanian. Untuk mendapatkan legitimasi sebagai pelaku pembangunan global, MNCs mendominasi lembaga-lembaga multilateral seperti WTO, IMF dan Bank Dunia. Dan mulai mencoba mempengaruhi PBB yang selama ini dikenal sebagai lembaga yang mempromosikan hak asasi, lingkungan hidup, dan sistem multilateralisme yang berimbang.

Dalam proses dominasi ini, kendali atas teknologi memainkan peranan penting. Monopoli atas teknologi, atau gabungan teknologi baru yang nyaris tanpa peraturan pengamanan, akan memperkuat penjajahan atas hajat hidup dan pikiran. Di anatara teknologi tersebut adalah berupa; (a) Nanoteknologi untuk menguasai materi melalui manipulasi, (b) Bioteknologi untuk menguasai kehidupan melalui manipulasi gen, (c) Teknologi informasi untuk menguasai pengetahuan melalui bit (byte), (d) Cognitive neuroscience untuk menguasai benak atau pikiran melalui manipulasi neuron, (e) Memetic engineering untuk mengendalikan kebudayaan melalui manipulasi meme atau gagasan. Meme adalah unsur mendasar dari kebudayaan yang analog dengan gen dalam organisme hidup. (Jhamtani, 2005)

Dominasi teknologi korporasi ini berakibat pada tidak berdayanya masyarakat dalam mengembangkan kreatifitas diri, akibat adanya pematenan hak kekayanan intelektual (HAKI). Masyarakat yang memiliki kemampuan kreatifitas intelektual seperti petani, pengrajin, bahkan akademisi sekalipun, tidak mampu mematenkan hasil temuan dan kreatifitasnya karena membutuhkan biaya mahal. Bagi korporasi untuk memperoleh HAKI sangat mudah, tetapi akan menindas masyarakat. Contoh kasus Tukirin (62) dan teman-temannya, petani asal Nganjuk, Jawa Timur diseret ke pengadilan dengan tuduhan mencuri benih perusahaan produsen benih jagung hybrida, PT. BISI anak perusahaan Charoen Pokphand, konglomerasi usaha input pertanian terbesar di Asia. Demikian pula Tukirin dituduh melakukan sertifikasi liar atas benih jagung yang mereka patenkan. Tukirin dianggap melanggar pasal Pasal 61 (1) “b” junto pasal 14 (1) UU No.12 tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. Akhirnya Tukirin masuk penjara dua tahun (Ashadi).

Dengan dominasi teknologi, korporasi melakukan penjajahan ruang-hidup (hajat hidup) manusia. Korporasi dicitrakan sebagai wahana pembangunan ekonomi dan alih teknologi serta membuat dunia semakin dekat. Mereka dicitrakan menciptakan ‘desa global’. Akan tetapi, dalam kenyataanya 200 MNCs teratas di dunia sedang menciptakan ‘apartheid ekonomi global’, yaitu ketimpangan kesejahteraan dan akses pada sumberdaya yang luar biasa besar. Apartheid Economy Global pada dasarnya adalah penjajahan hajat hidup. Hajat hidup bukanlah satu konsep kewilayahan fisik, melainkan seperangkat kebutuhan dasar hidup mencakup pangan, energi, air bersih, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan informasi. Hajat hidup juga mencakup kebebasan menganut kepercayaan, gaya hidup dan pikiran tertentu (Jhamtani, 2004). Secara keseluruhan hak atas hajat hidup berarti hak ekonomi, sosial, dan budaya seperti yang diakui oleh PBB dalam kovenan internasional atas hak ekonomi, sosial dan budaya serta hak untuk membangun. Berdasarkan isi kovenan tersebut, jaminan keamanan atas hajat hidup adalah hak asasi seorang manusia. Apartheid Economy Global merampas jaminan keamanan atas hajat hidup tersebut. Penjajahan hajat hidup dilakukan dengan memberikan label ‘industri’ pada banyak hal yang menyangkut kehidupan. Misalnya, pelayanan kesehatan berubah menjadi industri kesehatan; penyediaan pangan menjadi industri pertanian atau agrobisnis; pendidikan menjadi industri pendidikan; ilmu hayat menjadi industri sains kehidupan.

Ideologi korporasi adalah laba melalui dominasi pasar dan sumber daya, bukan pemenuhan lapangan pekerjaan atau pemerataan manfaat, atau persaingan yang adil. Melalui manipulasi informasi, mereka mencitrakan diri sebagai agen yang mendorong kesejahteraan masyarakat. Tanpa disadari, korporasi mengambil alih pikiran masyarakat melalui pencitraan iklan dan berita media yang tidak seimbang. Dengan kata lain pikiran manusia dijajah oleh kepentingan korporasai untuk memperoleh untuk sebesar-besarnya. Seperti iklan minuman ringan yang diiklankan mengandung nilai gizi yang tinggi dan berimplikasi pada gaya hidup modern, padahal justru minuman ringan tersebut mengandung bahan kimia yang berbahaya kalau dikonsumsi terus menerus dan sama sekali tidak memeliki implikasi gaya hidup, kecuali hanya perasaan saja.

Dilaporkan jurnal ilmiah bahwa banyak anak-anak di Zambia mengidap penyakit ‘Fanta Baby’ karena setiap hari diberi minuman ringan tersebut sebagai ganti makanan bergizi. Demikian juga halnya yang terjadi di Reo de Janeiro, Meksiko dan kota-kota lain. Demikian pula citra yang ditimbulkan iklan krim pemutih: seorang perempuan yang percaya diri berhasil dalam berhubungan dengan para lelaki dan juga baik hati, semua karena krim pemutih. Bahkan perempuan terdidik sekalipun banyak yang terpengaruh dengan iklan tersebut. Nampaknya iklan ini seolah bersifat rasis, karena hanya orang berkulit gelap saja yang menjadi sasaran. Akan tetapi nyatanya tidak. Perusahaan krim pemutih itu juga memproduksi krim yang membuat kulit gelap dan dijual pada negara-negara yang penduduknya berkulit terang dengan pesan sama tetapi berlawanan “kulit berwarna itu cantik”. Artinya konsumen didorong berfikir bahwa ‘menjadi diri sendiri’ itu tidaklah baik, ‘menjadi orang lain’ lebih baik.

Pikiran bahwa produsen punya hak untuk membentuk citra dan konsumen punya hak memilih dilandasi oleh asumsi bahwa pasar tidak pernah salah. Bahwa semua orang memiliki nalar, pendidikan, dan kebebasan untuk memilih. Tentu saja anggapan dasarnya ini tidak sepnuhnya benar. Para ibu miskin di Afrika sebagai konsumen tidak bisa membaca kandungan apa saja yang terdapat pada minuman ringan. Kalaupun bisa membaca, tidak mengerti bahaya apa bagi kesehatan akibat mengkonsumsi minuman tersebut. Karena itu citra yang mereka lihat, mereka anggap benar. Tetapi akibatnya hak anak-anak mereka atas kesehatan tidak terpenuhi.

Ada paradigma tertentu yang dibentuk dalam benak masyarakat konsumen, mungkin ini cikal bakal memetic engineering. Paradigma itu adalah penyeragaman cara berfikir guna memudahkan perusahaan menghasilkan produk yang seragam untuk pasar yang seragam secara global. Contoh yang paling jelas adalah bagaimana selera makan anak-anak Indonesia dibentuk melalui citra bahwa McDonald, KFC, Pizza Hut, A&W dan makanan cepat saji yang sejenis adalah ‘trendi, enak, modern, murah, bersih, dan sehat’

Penjajahan pikiran diarahkan pada penyeragaman cara berpikir dan dilakukan melalui sistem pendidikan, sistem politik, dan ekonomi, serta media yang seragam, unilateral dan satu arah. Bahkan, dalam sistem negara yang disebut ‘demokrasi’, pikiran dan opini masyarakat sebenarnya, tanpa disadari, dikendalikan melalui propaganda media massa (yang juga dikuasai korporasi), dan sistem pendidikan serta pemerintahan. Seperti dapat dilihat dari cara mencitrakan demokrasi. India, AS, dan Indonesia dikatakan sebagai negara demokrasi terbesar di dunia. Alasannya karena adanya ‘pemilihan umum yang dinyatakan bebas’. Padahal hajat-hidup dan cara berfikir ketiga negara tersebut berbeda dan masih terjajah. Kebutuhan dasar minimum bagi rakyat India dan Indonesia belum terpenuhi. Padahal rakyat Amerika sendiri sebagian besar tidak dapat berpartisipasi secara berarti dalam proses pembuatan keputusan di dalam negaranya sendiri. Jika masyarakat terdidik seperti AS saja masih tidak sadar kalau negara mereka belum berdemokrasi secara sebenarnya, bagaimana dengan sebagain besar rakyat di Dunia Ketiga.

KEKUATAN-KEKUATAN LOKAL SEBAGAI ALAT PENGHADANG

Sejak globalisasi dicanangkan, sesungguhnya neoliberalisme telah berhasil menjadi landasan formasi sosial. Banyak korban berjatuhan, terutama masyarakat adat, petani kecil pedesaan, kaum miskin kota, dan golongan marginal lainnya. Namun demikian, sejak saat itu juga muncul banyak gerakan perlawanan-perlawanan dalam berbagai bentuk. Perlawanan pertama datang dari gerakan kultural, seperti gerakan keagamaan yang dikenal dengan gerkan ‘teologi pembebasan’ di Amerika Latin. Di India muncul pula gerakan perlawanan secara kultural sehingga membangkitkan kelompok Hindu Revivalist (Rashtriya Swayamsewak Sangh). Sebagain gerakan kultural itu bersifat lokal dan organisasi-organisasi non pemerintah (ORNOP) seringkali membantu perlawanan kultural semacam itu untuk memperluas gerakan.

Gerakan perlawanan juga terjadi di Indonesia yang bersifat lokal dan berlatar sosial keagamaan kultural. Seperti yang dialami di berbagai pesantren di Jawa, dan beberapa kasus petani-petani di pedesaan yang dengan kreatifitas dan kearifan lokalnya (local wisdom) melakukan minimal penolakan bahkan perlawanan. Masing-masing komunitas masyarakat pada dasarnya mengalami problem yang sama terkait dengan gelombang arus hegemoni korporasi. Akan tetapi, masing-masing komunitas memiliki karakter, tradisi, kreatifitas, dan kearifan dalam menghadapi hegemoni korporasi tersebut. Meskipun tidak jarang juga terjadi ketidakpahaman terhadap hegemoni korporasi, sehingga justru mereka menjadi agennya.

Hasil penelitian Fatchan (2004) tentang pembelotan kyai pesantren di Malang dan Blitar terhadap sistem yang dikembangkan oleh pemerintah dalam budidaya pertanian, yang dibaliknya ternyata adalah neoliberalis dengan politik revolusi hijau, menunjukkan bahwa mereka berhasil menciptakan sistem dan mekanisme sendiri secara kreatif. Dengan kepemimpinan lokal seorang kyai dan sistem kekerabatan sosialnya mampu membangun komunitas strategis untuk melakukan proses-proses pendidikan masyarakat, tanpa harus dipengaruhi oleh himbaun, saran, bahkan provokasi dan intimidasi dari pemerintah melalui aparat desa, dan kecataman serta penyuluh pertanian. Mereka tidak mau bersentuhan dengan sistem pasar yang cenderung menindas petani. Menolak sistem teknologi yang dalam jangka panjang disadari akan merugikan mereka sendiri. Demikian pula menolak sistem tanam yang diajarkan oleh para penyuluh pertanian, karena para penyuluh hanya mendasarkan diri pada teori pertanian, tidak memahami watak dasar tanah dan karakter musim yang ada di wilayah desa mereka.

Bentuk-bentuk perlawanan kyai dan masyarakat adalah: (a) menolak pola sewa, tetapi melakukan gadai sawah, (b) menolak pola tanam monokultur, (c) tindakan menolak kredit bank, (d) menolak pelatihan dari pemerintah (penyuluh pertanian), tetapi menerapkan pelatihan sistem sorogan dan bandongan, dan (e) Menolak menggunakan pestisida, tetapi meramu racun hama sendiri. (Fatchan, 2004).

Kekuatan kyai sebagai local leader, menyusun strategi untuk membela umat (rakyat) dari usaha-usaha penindasan para pemilik modal (daokeh) dengan sistem ijon, sewa lahan, kredit bank, dan penindasan lainny begitu cukup wfwktif. Kyai melarang sistem-sistem yang menindas tersebut sekaligus memberikan pendidikan masyarakat, serta memberikan solusinya agar sawah tidak jatuh ke tangan orang lain, dan petani tidak terlilit oleh hutang yang berbunga. Kyai memberi alternatif dengan sistem gadai sawah. Sistem ini menjadikan sawah tidak jatuh ke tangan pemilik modal, karena sawah digadaikan kepada pondok pesantren, yang hasil sawah tersebut untuk membangun kebutuhan masyarakat, khususnya pembangunan masjid, mushalla dan madrasah. Melalui sarana jam’iyah tahlil dan pengajian rutin, kyai membangun kesadaran masyarakat untuk menciptakan sistem sendiri, menolak sistem kapitalis yang akan menjerat mereka sendiri. (Fatchan, 2004:125)

Pola budidaya pertanian yang dikembangkan oleh Orde Baru dengan revolusi hijaunya, adalah bersifat monokultur. Sistem intensifikasi tanaman padi di lahan sawah melaui program Bimas-Inmas, Insus-Supra Insus, serta program KUT merupakan program wajib yang dipaksakan kepada seluruh petani. Program ini dikhususkan dalam rangka menuruti kehendak penguasa dalam industrilisasi pangan nasional, yang pada akhirnya mematikan kreatifitas petani, karena petani tidak memiliki alternatif lain dalam usaha pertaniannya. Kyai sebagai pihak yang sangat sadar dengan politik-ekonomi pemerintah ini, melakukan aksi diam-diam mendidik para petani untuk melakukan pola tanam multikultur, atau multiple cropping, yaitu menaman berbagai macam tanaman dalam satu petak sawah. Tujuan menanam dengan pola ini adalah untuk pemenuhan kebutuhan sehari-hari petani sendiri. Sebab dengan banyaknya tanaman yang ada, kebutuhan akan makanan utama dan tambahan terpenuhi dengan cukup. Seperti sayur, ketela, jagung, canthel, kacang-kacangan, dan tanaman produktif lainnya selain tanaman padi sebagai tanaman utama. Memang untuk melakukan pola ini dibutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus. Oleh sebab itu kyai, melalui petani-petani yang berhasil secara kreatif mengembangkan pertanian pola multikultur, melakukan pelatihan-pelatihan baik kepada santri maupun kepada para petani lainnya. Pelatihan dilakukan dengan sistem magang dan kerja yang diadaptasi dari sistem sorogan dan bandongan. (Fatchan, 2004:150)

Program intensifikasi pertanian yang dikembangkan orde baru dengan proyek Bimas-Inmas, Insus-Supra Insur, sampai KUT didampingi oleh program pemberian fasilitas kredit pertanian yang digunakan sebagai modal usaha pertanian. Di antaranya kredit sarana produksi pertanian berupa pupuk, benih, dan obat-obatan racun hama, serta uang tunai untuk biaya hidup. Program-program itu awalnya terkenal dengan KUK (Kredit Usaha Tani), KCK (Kredit Candak Kulak), KIK (Kredit Intensifikasi Khusus), Kepedes (Kredit Umum Pedesaan) sampai pada awal reformasi muncul KUT (Kredit Usaha Tani). Semua program kredit tersebut proses pengucuran dan pengelolaanya melalui bank-bank yang ditunjuk oleh pemerintah, seperti BRI. BPD, dan BCA. Dalam program ini oleh kyai disikapi dengan menolak seluruh program kredit tersebut. Hal ini karena sistem kredit yang berbunga, meskipun bunganya tergolong kecil, dianggap riba dan diangap haram paling tidak makroh, maka kyai memiliki alternatif dengan memberi pinjaman melalui jam’iyah yasin dan tahlil tanpa bunga sedikitpun. Masalah utama bukan haram atau makrohnya bunga terebut, tetapi pada kemampuan petani dalam mengelola dana pinjaman kredit yang diperolehnya cenderung konsumtif, sehingga akhirnya bisa menjerat mereka yang pada akhirnya sawah mereka akan diambil alih oleh bank jika tidak mampu membayar kredit. Hal inilah yang dikhawatirkan kyai, sebab kalau petani tidak punya sawah, maka akan muncul problem baru yang lebih rumit dalam sistem sosial masyarakat desa. (Fatchan, 2004:143)

Kyai dan masyarakat juga memiliki kreatifitas sendiri dalam menghadapi serangan hama tanaman dan serangan produk pestisida sebagai racun hama tanaman oleh proyek korporasi melalui tangan pemerintah dengan program-programnya. Mereka meramu racun sendiri dengan baceman bahan-bahan yang ada, sabun cuci, minyak tanah, dan bahan alami tuba. Dengan kreatifitas sendiri ini, mereka terhindar dari pengeluaran beaya tinggi untuk pembelian pestisida dan terhindar pula dari dampak negatif kesehatan atas produksi racun dari pabrik tersebut. (Fatchan, 2004:160)

Hal yang sama dalam wilayah yang berbeda juga terjadi di Madura. Masyarakat bersma kyai menolak proram-program pemerintah yang selama ini diboncengi oleh korporasi-korporasi nasional maupun multinasional. Selama sekian dekade hampir seluruh program pembangunan Madura tidak berhasil, karena resistensi masyarakat terhadap pemerintah sangat kuat. Hal ini karena posisi kyai di Madura cukup dominan di Masyarakat, padahal secara politik para kyai berbeda pilihan politiknya dengan pemerintah. Maka yang terjadi adalah seluruh program pemerintah yang tidak didukung oleh kyai juga tidak didukung oleh masyarakat. Seperti program wajib belajar (Wajar) pendidikan dasar dan menegah, keluarga berencana (KB), posyandu, dan program-program lainnya hampir tidak berjalan dengan baik. (Kuntowijoyo, 2003)

Pada kasus pembangunan jembatan Suramadu, pemerintah menggandeng kyai dalam pembebasan lahan dan akses jalan masuk ke jembatan. Untuk akases ke jembatan ini sebagian besar sudah terselesaikan, namun masih saja ada beberapa lahan yang sulit dibebaskan karena aspek mitos dan keperacayaan. Mitos dan kepercayaan menjadi alat untuk melawan dominasi-dominasi korporasi, khususnya dalam penguasaan lahan di Madura. Menjual tanah bagi orang Madura adalah hal yang tabu. Hal ini karena tanah merupakan warisan leluhur, tempat bersemayamnya roh-roh nenek moyang mereka. Oleh sebab itu, kalau mereka menjual tanah berarti menjual roh leluhurnya. Hal inilah yang ditabukan oleh mereka. Problem baru telah muncul dalam pembebasan lahan yang akan disetting menjadi lokasi industri disekitar jembatan Suramadu. Masyarakat menolak penjualan tanah-tanah mereka, karena kepercayaan dan mitos tersebut. (Afandi, 2005)

Perlawanan juga terjadi di Wonosari, Gunung Kidul. Masyarakat menolak dominasi penguasa dengan berbagai cara. Mulai dari cara sembunyi-sembunyi, sampai dengan pola perlawanan yang terang-terangan. Dominasi pemilik modal (tengkulak, makelar tanah) yang bersembunyi di ketiak birokrat aparat desa dan kecamatan disiasati dengan berbagai macam strategi. Siasat boikot dan menipu, mensiasasti bantuan sampai mengorganisir perlawan adalah langkah strategis untuk melawan perilaku penguasa yang menindas. (Budisusila: 2000).

Perlawanan ataupun pembelotan pada kenyataannya tidak hanya terjadi di beberapa tempat tersebut di atas, tetapi banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia maupun di negara-negara lain. Perlawanan pada dasarnya terjadi akibat masyarakat merasakan adanya proses yang tidak adil dan menindas. Perlawanan memang bisa terjadi dimana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Hanya apakah perlawanan itu mampu menciptakan kesadaran kolektif sehingga terjadi proses tranformasi sosial. Perlawananpun akan kalah dan mudah ditelan serta digilas oleh gelombang neolibralisme dan kapitalisme manakala perlawanan itu bersifat spontanitas, sporadis, tidak tersistem, dan tidak muncul dari proses pedidikan. Maka dibutuhkan seuatu perlawanan yang konsisten, tersistem, dan dibangun dari proses pendidikan yang membebaskan, sehingga akan terbangun sistem sosial yang adil dan humanis.

PENDIDIKAN KRITIS SEBAGAI ALTERNATIF MENGOKOHKAN KEKUATAN TRADISI DALAM MELAWAN NEOLIBERALISME

Untuk menolak dan melawan kekuatan neoliberalisme memang tidak mudah. Hal ini karena kekuatan neoliberal mampu memasuki relung-relung hati, perasaan, dan pikiran manusia, disamping mereka menguasai sistem politik, ekonomi dan teknologi. Neoliberalisme dengan konsep konsumerismenya lebih menarik ketimbang konsep kelompok-kelompok yang melawan dan meloknya. Oleh sebab itu, pola efektif apa yang dibangun dalam rangka mencegah dan melawan kekuatan neoliberal tersebut.

Pendidikan memang merupakan alternatif pertama dan utama untuk membangun kesadaran masyarakat atas keterjajahan diri oleh orang lain. Hanya masalahnya selama ini justru pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik. Pendidikan tidak bisa terbebaskan dari upaya untuk melanggengkan dan melegitimasi kekuasaan sistem sosial ekonomi. Sehingga pendidikan cenderung sebagai sarana untuk memproduksi sistem dan struktur sosial yang tidak adil. Oleh sebab itu, dibutuhkan sistem pendidikan yang justru membebaskan masyarakat dari dominasi kekuasaan dan ketidakadilan. Pendidikan yang memproduksi sistem kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender, dan kesadaran lainnya. Sehingga pendidikan diharapkan akan menghasilkan sebuah gerakan untuk melawan dehumanisasi, eksploitasi kelas, dominasi gender, dan dominasi serta hegemoni budaya lainnya. Pendidikan merupakan sarana untuk memproduksi kesadaran diri dan mengembalikan kemanusiaan manusia. Dalam hal ini pendidikan berperan membangkitkan kesadaran kritis sebagai prasyarat upaya untuk pembebasan. Kesadaran, menurut Paulo Freire (1986), terdapat tiga golongan yaitu: kesadaran magis (magical consciousness), kesadaran naif (naival consciousness), dan kesadaran kritis (critical consciousness).

Perlu dibangun visi kritis pendidikan terhadap sistem yang dominan sebagai pemihakan kepada yang lemah dan tertindas. Sehingga pendidikan mampu menciptakan sistem sosial baru dan lebih adil. Dalam perspektif kritis pendidikan harus menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain pendidikan adalah memanusiakan kembali manusia yang mengalami ‘dehumanisasi’ karena sistem dan struktur yang tidak adil. Oleh sebab itu, pola-pola pendidikan yang dapat diterapkan dalam hal ini adalah pola pendidikan andragogi (pendidikan untuk orang dewasa) yang disesuaikan dengan kondisi sosial dan lingkungan masyarakat.

Saat ini, pengaruh pendidikan yang bermadzhab positivisme sangat dominan hampir seluruh lembaga pendidikan maupun masyarakat. Sehingga pola yang dikembangkan dalam praktek mendidik (proses belajar) cenderung bertolakbelakang dengan semangat pembebasan dan transformasi sosial. Pikiran positivistik seperti obyektifitas, empiris, tidak memihak pada peserta didik, berjarak dengan obyek belajar, rasional, dan bebas nilai menjadikan proses pendidikan sangat dominatif dan menumpas benih-benih emansipatoris. Penyelenggaraan pendidikan yang berwatak positivistik merupakan proses fabrikasi dan mekanisasi pendidikan untuk memproduksi keluaran pendidikan yang harus sesuai dengan pasar kerja. Proses belajarnya juga tidak toleran dengan segala bentuk non positivistic ways of knowing yang disebut sebagai tidak ilmiah. Pendidikan menjadi ahistoris, yakni mengelaborasi model masyarakat dengan mengisolasi banyak variabel dalam model tersebut. Peserta didik wajib tunduk pada struktur yang ada dan mencari cara agar peran, norma, dan nilai-nilai dapat diintegrasikan dalam rangka melanggengkan sistem tersebut. Asumsi yang mendasari pendidikan tersebut adalah bahwa tidak ada masalah yang terjadi dalam sistem yang ada, masalahnya terletak pada sikap mental, pengetahuan, dan ketrampilan peserta didik saja, termasuk kreatifitas, motivasi, dan keahlian peserta didik. Oleh karena itu dalam perspektif positivisme pendidikan lebih dimaksudkan sebagai proses untuk mencerdaskan, membuat orang menjadi trampil, dan ahli. Sementara komitmen, keyakinan, dan kepercayaan terhadap sistem yang lebih adil dan motivasi utnuk melawan struktur sosial yang ada tidak dilakukan, namun lebih sibuk menfokuskan pada bagaimana membuat sistem yang ada bekerja. (Topatimasang, 2005: xvi)

Oleh karena itu dibutuhkan paradigma kritis dalam proses pendidikan. Yaitu paradigma yang memanusiakan manusia. Pendidikan yang berpihak kepada peserta didik untuk mampu bangkit membangun kesadaran sosial, sehingga mampu bangkit untuk melakukan transformasi sosial. Pendidikan yang demikian ini harus dibangun relasi lingkungan dan penciptaan sistem prasarana penyelenggaraan pendidikan yang demokratis. Dalam sistem prasaran yang otoriter dan tidak demokratis, sulit bagi pendidik untuk memerankan peran kritisnya. Dengan demikian langkah strategis terpeniting adalah menciptakan proses belajar yang otonom dan partisipatoris dalam pengembangan kurikulum, dan penciptaan ruang bagi proses belajar bagi perserta didik untuk menjadi diri mereka sendiri. Dengan demikian setiap pendidikan adalah otonom dan unik untuk menjadi diri mereka sendiri. Jika demokratisasi pendidikan terjadi, maka akan melahirkan masyarakat yang otonom dan demokratis pula. Akhirnya masyarakat yang demokratis akan menyumbangkan lahirnya bangsa yang demokratis.

Dibutuhkan peran pendidik (kyai, guru, tokoh masyarakat) sebagai local leader yang mampu menjadi pendidik-pendidik yang berjiwa kritis dan emansipatoris. Sehingga akan muncul komunitas-komunitas masyarakat yang kritis, otonom dan demokratis. Masyarakat yang terbebaskan dari belenggu-belenggu sistem yang menjajah, karena memiliki kesadaran diri dan mampu melawan sistem yang menjajah tersebut. Sehingga akhirnya akan terjadi proses transformasi sosial sebagai hasil dari proses pendidikan kritis yang membebaskan tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Afandi, Agus, dkk. (2005) Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, Yogyakarta: Arrus.

Ashadi, Ridho Saiful, Paten Benih Menyeret Petani Jagung ke Meja Hijau, http://www.walhi.or.id/ kampanye/psda/050928_benihjagung_cu/

Bourdieu, Pierre (2003) “Kritik terhadap Neoloberalosme: Utopia Eksploitasi tanpa Batas menjadi Kenyataan” dalam Basis, November-Desember 2003.

Budisusila, A. Dan Gito Haryanto (2000), “ Gerakan Perlawanan Rakyat terhadap Dominasi Kekuasaan: Studi Kasus di Wonosari, Gunung Kidul Yogyakarta” dalam Wacana Ed.5 tahun II. Yohyakarta: Insist Press.

Faqih, Mansour (2000) “Pembangunan: Pelajaran Apa yang Kita Peroleh?” dalam Wacana, Ed. 5 Tahun II. Yogyakarta: Insist Press.

Fatchan, Ach. Dan Basrowi (2004), Pembelotan Kaum Pesantren dan Petani di Jawa. Surabaya: Yayasan Kampusiana.

Freire, Paulo (1986), Pedagogy of the Oppressed, New York: Praeger.

Herry-Priyono, B. (2004)”Marginalisasi ala Neo Liberal” dalam Basis Mei-Juni, 2004.

Jhamtani, Hira (2005), “Kuasa Korporasi: Penjajahan Pikiran dan Ruang-hidup” dalam Wacana, Ed. 19, Tahun VI, Yogyakarya: Insist Press.

Kuntowijoyo (2003) Radikalisme Petani. Yogyakarta: Gerbang.

Topatimasang, Roem, Dkk. (2005) Pendidikan PopulerMembangun Kesadaran Kritis, Yogyakarta: Insist Press.


Comments

0 Response to 'KEKUATAN TRADISI LOKAL SEBAGAI WISDOM YANG MEMBEBASKAN MASYARAKAT DARI BELENGGU KEKUATAN NEOLIBERALISME'